Kejadian itu Netral
Pernah nggak merasa kesal dengan satu kejadian?
Kalau pernah, berarti sama. Saya juga pernah. Mungkin kebanyakan kita memang pernah merasakannya. Ketika satu kejadian menghancurkan kesenangan dan antusisme. Lalu seolah-olah kita membenci kejadian tersebut dan berharap nggak mengalaminya lagi.
Suatu saat, saya berangkat menemui dosen pembimbing proposal skripsi. Saat itu rasanya cukup puas dengan hasil proposal yang sudah dibuat. Rasa senang berkecamuk, karena yakin kalau hasilnya cukup baik. Saya coba hampiri dosen tersebut dengan tenang dan percaya diri.
Setelah mengobrol sebentar, saya sodorkan draft proposal kepada beliau. Matanya menerawang ke bagian-bagian yang penting. Halaman demi halaman dibuka dengan cekatan. Dan, ternyata hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Saya pun pulang untuk mengganti judul, yang otomatis merevisi hampir seluruh kontennya.
Kejadian itu cukup membuat kesal. Saya yang tadinya berbinar yakin malah langsung ngedrop. Semacam demotivasi. Dan menganggap diri saya nggak mampu melakukan yang terbaik. Lalu hari itu berubah menjadi hari yang buruk.
Tapi suatu saat saya menonton salah satu video coach Aji yang membahas tentang memaknai satu kejadian. Intinya kurang lebih begini,
“Kejadian itu netral, kita bebas memberinya makna. Kalau kita memaknainya buruk, maka ia menjadi buruk. Kalau memaknainya baik, ia menjadi baik.”
Iya juga sih. Cukup masuk akal ya. Kadang kita sering memaknai satu kejadian dengan sembarangan. Seperti kejadian saya tadi. Sebenarnya itu kejadian biasa, netral.
Contoh lainnya, ketika ada teman yang nggak nanya ke kita, dianggap sombong. Padahal belum tentu. Ketika nilai ujian jelek terus, dianggap bodoh. Padahal masih ada kesempatan buat belajar lagi. Atau ketika ikutan lomba dan gagal, dianggap nggak bakat. Padahal orang yang juara itu terbentuk dari hasil latihan yang nggak sebentar. Bahkan bakat sebenarnya bisa dikalahkan oleh kerja keras. Dan masih banyak kejadian lainnya, yang kadang dimaknainya itu kurang tepat.
Akibatnya, pemaknaan yang salah ini bukan hanya merugikan kita. Tapi bisa merugikan orang lain juga.
Saya jadi teringat dengan pelajaran agama di sekolah dulu, tentang Husnudzon (berprasangka baik) dan Suudzon (berprasangka buruk). Ini berkaitan dengan konsep kejadian yang dibahas oleh coach Aji. Ternyata memang bener ya. Berprasangka baik justru bisa berampak baik pada perasaan dan pikiran kita.
Sekarang saya mulai belajar memberi makna secara sadar. Saya yakin kalau tiap kejadian pasti ada intensi positifnya. Atau pelajaran yang bisa diambil. Dan kalau dimaknai positif, ia menjelma menjadi positif. Dengan merubah makna menjadi baik, emosi kita pun akan terkendali dengan baik. Pekerjaan bisa selesai tanpa banyak mengeluh. Hubungan dengan orang lain pun bisa terjaga tanpa saling tuduh.
Hidup kita itu udah baik. Mari kita maknai dengan baik dan berprasangka baik.
Karena kejadian itu netral. Setuju?