Apa yang Membuat Kita Puas?
Kadang saya bertanya, kenapa selalu merasa kurang, padahal semua kebutuhan sudah tercukupi.
Keluhan demi keluhan keluar secara halus. Saya menolaknya, tapi ia selalu berusaha muncul ke permukaan. Ia bergerilya meruntuhkan rasa syukur.
Kenapa saya masih saja belum merasa puas dengan apa yang diberi?
Hmm …
Ketika khutbah jum’at lalu, ada beberapa kalimat yang cukup menyadarkan diri,
“Ada perbedaan antara orang kaya yang soleh dan orang miskin yang soleh ketika masuk surga. Orang miskin yang soleh akan masuk surga lebih dulu dibandingkan yang kaya. Jarak waktunya hanya beda setengah hari. Tapi, setengah hari di sana sama dengan 500 tahun.”
Jleb.
Saya terus berusaha mencerna perkataan tersebut. Hingga saya menemukan titik tengahnya.
Kita memang nggak akan tahu apa yang akan terjadi kelak. Tapi kita bisa memilih dengan lebih bijak. Bukan kaya atau miskin yang menjadi fokus kita. Bukan berhasil atau gagal yang menjadi ukuran kepuasan kita. Dan bukan hebat atau lemah yang menjadi acuan kita.
Pada dasarnya, kita, sebagai manusia suka berkeluh kesah. Saya pun merasakannya. Tapi kalau kamu belum pernah merasakan, berarti kamu sudah berhasil memilih. Memilih untuk menerima. Memilih untuk merasa cukup.
Lalu, apa sebenarnya yang membuat kita puas?
Ya, betul. Menerima apa yang diberi.
Cara sederhananya, kalau kita menggeser fokus dari mengeluh ke menerima, dari mencaci ke memuji, maka akan terasa kepuasan yang berbeda.
Beban yang berat terasa ringan, setelah kita terbiasa mengangkatnya. Menerima pun akan terasa ringan, setelah kita terbiasa menjalaninya.
Dan yang makin saya pahami bahwa kepuasan itu juga ada pada kebermanfaatan. Pada andil kita di muka bumi. Karena kita bukan sekadar penikmat atau pengamat, kita adalah bagian dari penebar rahmat.
Terimalah apa yang diberi. Dan gunakanlah pemberian-Nya untuk kebermanfaatan.