Adakah Pemimpin yang Melayani Dengan Hati?
Beberapa orang tampak mendorong kasur rumah sakit. Di atasnya terbaring seorang pasien. Mereka berlari menuju ambulans seperti petir yang menyambar. Mulutnya ditutupi masker berwarna hijau. Mereka juga memakai jubah atau pakaian pelindung untuk menghindari serangan dari sesuatu yang tak kasat mata: virus.
Dua di antara mereka ada yang terduduk di lantai dan menyelonjorkan kakinya. Matanya sayu dengan dahi dan pipi dipenuhi bintik keringat. Mereka tampak seperti pahlawan yang baru pulang berjuang dari pertempuran.
Saya tahu ini belum berakhir. Saat ini banyak dari kita yang masih melakukan karantina. Apa yang kita harapkan pasti sama. Berharap kondisinya membaik dan menyembuh.
Sementara para pekerja medis dan relawan masih berjuang di posisinya.
Para pekerja medis yang menangani pasien corona memberi bukti, kalau hidup kita memang untuk melayani. Melayani orang lain. Yang sedarah, atau pun nggak sedarah dengan kita. Menolong dan memberdayakan dengan tulus, tanpa paksaan.
Bicara tentang melayani, beberapa waktu lalu saya membaca tulisan tentang servant leader; pemimpin yang melayani. Ini masih terkait dengan kejadian yang kita alami saat ini. Saya mengharapkan ada sosok pemimpin yang muncul menjadi teladan.
Tapi, saya juga selalu yakin kalau setiap kita memiliki jiwa kepemimpinan. Satu, dua atau tiga orang dari kita akan memegang tongkat estafet kepemimpinan di masa depan.
Nah, setelah membaca tulisan itu saya jadi penasaran, apakah pemimpin itu memang harus melayani?
Saya coba renungkan lagi.
Lalu, muncul satu nama yang pernah mengguratkan tinta sejarah. Beliau adalah Utsman bin Affan Ra. Salah satu sahabat Rasulullah yang terkenal penyayang dan dermawan. Ust. Hanan Attaki pernah bercerita tentang peran beliau saat terjadi perang Tabuk, beliau membawa 1000 dinar untuk diinfakkan, yang sekarang jumlahnya bisa mencapai milyaran rupiah. Lalu Rasulullah pun mendoakannya.
Beliau adalah sosok pemimpin yang berjuang dengan tenaga atau hartanya. Sosok Servant leader dengan kedermawanannya.
Apakah kita bisa menjadi servant leader?
Tentu bisa.
Berawal dari kemauan kita untuk tulus melayani.
Bahkan orang tua kita sudah melakukannya lebih dulu. Coba ingat-ingat lagi. Kita mendapatkan pelayanan dari pertama kita lahir sampai akhirnya bisa mandiri. Orang tua kita memastikan agar kita lahir dengan selamat. Lalu mereka merawat dengan sepenuh hati. Mereka pun memastikan kebutuhan hidup kita terpenuhi dengan baik. Dan barangkali, ada orang tua yang mengharapkan anaknya kelak menjadi pemimpin.
Maka jadilah pemimpin. Pemimpin yang melayani. Melayani dan memakmurkan kehidupan orang lain.
Nelson Mandela pernah bilang, “Pemimpin yang baik harus siap berkorban untuk memperjuangkan kebebasan rakyatnya.”
Apakah kamu ingin menjadi pemimpin yang melayani dan rela berkorban?